| Penulis : Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI) | 
 Manuver
 udara Amerika Serikat di Indonesia perlu diwaspadai oleh para 
stakeholders(pemangku kepentingan) kebijakan luar negeri dan keamanan 
nasional Indonesia. Baru-baru ini berkembang informasi bahwa 
satelit-satelit pengindra Sumber Daya Alam (SDA) Amerika Serikat 
LANDSAT-1 sampai VII telah melintasi wilayah udara Indonesia pada 
ketinggian 36 ribu km di atas bumi. Tentu saja ini suatu perkembangan 
yang cukup mencemaskan dari segi kedaulatan dan integritas territorial 
udara Republik Indonesia. 
 | 
 Betapa
 tidak. Menurut informasi dari Arie Sukiasto, pakar politik Universitas 
Muhammadiyah Jakarta, dari pantauan satelit-satelit pengindra SDA 
tersebut, berhasil menemukan beberapa data penting bahwa mulai dari Aceh
 hingga Papua, ternyata penuh dengan cekungan Minyak Bumi dan Mineral 
Gas. Sudah barang tentu serangkaian data-data ini selain penting juga 
strategis dari sisi kepentingan nasional Amerika. Sehingga dengan 
demikian, Amerika punya referensi yang faktual dan terukur untuk 
menguasai daerah-daerah Indonesia yang memiliki nilai strategis dari 
segi geopolitik.  Khususnya yang kaya minyak dan mineral gas. Termasuk 
yang belakangan mulai terungkap di Sampang, Madura-Jawa Timur. 
 Justru
 gara-gara terjadinya pembantaian warga Muslim Syiah di Sampang, daerah 
ini mulai terungkap kandungan minyaknya yang cukup besar di Indonesia. 
Sekadar gambaran betapa kayanya Madura, mari kita telisik pendapatan 
daerah Kabupaten Sumenep dari bagi hasil migas untuk tahun 2011 dan 
2012. 
 Berdasarkan
 data 2012 yang berdasarkan catatan seorang pakar energy ST Natanegara, 
Sumenep diperkirakan akan mendapatkan dana bagi hasil minyak dan gas 
sebesar Rp 8,8 triliun. Padahal menurut data resmi yang dipublikasikan, 
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumenep hanya mencapai Rp 4 miliar. 
Padahal, kalau merujuk pada catatan St Natanegara, Rp 4 miliar yang 
katanya diperoleh dari sumber minyak dan gas, ternyata hanya sebagian 
kecil yang dialokasikan untuk program community development. Sedangkan 
perolehan Sumenep dari sumber minyak yang sebesar Rp 8 triliun tersebut,
 pajak pribadi pegawai MIGAS belum masuk ke Anggaran Pendapatan dan 
Belanja Daerah (APBD). 
 Masuk
 akal jika Amerika, Inggris, Kanada dan Cina, berebut menjadi kontraktor
 di daerah Sampang-Madura dan sekitarnya. Untuk blok Bawean, yang 
berhasil jadi kontraktor adalah Kerr McGee of Indonesia sedangkan 
operatornya adalah  Camar Resources dari Kanada. 
Betapa strategisnya nilai geopolitik Madura bisa dilihat melalui beberapa fakta berikut ini: 
 
 Menyadari
 kenyataan tersebut, maka hal ini telah menjelaskan mengapa Presiden 
Amerika Barrack Obama telah memutuskan untuk meningkatkan kekuatan 
angkatan lautnya di Australia. Keputusan Obama untuk menambah sebanyak 
2500 personel marinirnya di Darwin, Australia, harus dibaca sebagai 
bentuk kecemasan Washington terhadap semakin agresifnya Cina tidak saja 
secara militer, melainkan juga dari segi ofensif ekonominya sebagaimana 
tergambar melalui pertarungan merebut tender sebagai Kontraktor di 
daerah kaya MIGAS di Madura-Jawa Timur. 
 Bagi
 Amerika, soal MIGAS bukan sekadar merebut Sumber Daya Alam 
negara-negara lain, melainkan juga sudah menjadi bagian integral dari 
isu keamanan nasional. 
 Terkait
 dengan penyebaran pasukan marinir Amerika di Darwin Australia, berbagai
 kalangan DPR-RI maupun beberapa negara ASEAN, memandang hal ini 
berpotensi meningkatkan ketegangan dan eskalasi konflik di kawasan Asia 
Tenggara. Beberapa waktu lalu, DPR-RI  telah memperingatkan kehadiran 
marinir AS di Negeri Kangguru itu. Beberapa anggota DPR bahkan mendesak 
Washington untuk memberi penjelasan kepada Jakarta terkait pangkalan 
militernya yang hanya berjarak 820 kilometer dengan Indonesia. Wakil 
Ketua Komisi Pertahanan DPR, Tubagus Hasanuddin mengatakan, "Perlu ada 
jaminan dari AS, karenanya keberadaan pangkalan milter itu harus 
dijelaskan kepada pemerintah Indonesia." (Baca berita situs kami http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=6490&type=8#.UQcpm_JP1kg). 
 Memang
 benar bahwa Presiden SBY sudah mendapat keterangan dari Presiden Obama 
ketika bertemu di KTT ASEAN Nusa Dua pada 2111 lalu bahwa penempatan 
pasukan tersebut semata untuk tanggap darurat bencana alam. Sayang 
sekali sepertinya SBY percaya begitu saja terhadap keterangan Obama yang
 bisa dipastikan hanya “retorika diplomasi” semata. 
 Indonesia
 udah seharusnya menunjukkan kekhawatiran serius atas kehadiran militer 
AS di dekat wilayahnya. Pemerintah juga perlu melobi negara-negara ASEAN
 untuk menyatakan keberatan terhadap agenda AS kawasan. Kehadiran 
pangkalan militer AS bagaimana pun akan mengganggu ketenangan dan pada 
jangka panjang akan memancing munculnya ketegangan di kawasan. 
Bom Terbang Hipersonik AS: Ancam Wilayah Udara Asia Pasifik 
 Meskipun
 tujuan strategis Washington adalah penguasaan secara geopolitik 
negara-negara yang kaya minyak dan mineral gas seperti Indonesian dan 
negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada umumnya melalui 
sarana-sarana non militer, namun postur pertahanan AS tetap ditingkatkan
 pada skala yang cukup strategis. Karena itu, mencermati serangkaian 
produk-produk terbaru di matra udara dan ruang angkasa kiranya penting 
untuk jadi prioritas para pemegang otoritas keamanan nasional Indonesia. 
 Jika
 kita menelisik perkembangan industri strategis bidang pertahanan 
Amerika sejak 2011 lalu, ada informasi cukup mencemaskan. Novemver 2011 
lalu Pentagon  berhasil melakukan ujicoba satu bom terbang yang melesat 
lebih cepat daripada suara dan akan memberi para perencana militer 
kemampuan untuk menyerang sasaran di mana pun di dunia dalam waktu 
kurang dari satu jam. 
 Produk
 yang bernama “Advanced Hypersonic Weapon", atau AHW ini, berhasil 
diluncurkan melalui roket di wilayah udara Pasifik, dengan kecepatan 
hipersonik sebelum menghantam sasaran di pulau karang Kwajalein di 
Marshall Islands, demikian isi pernyataan Pentagon ketika itu. Kwajalein
 terletak sekitar 4.000 kilometer di sebelah barat-daya Hawaii. 
 Tentu
 saja bagi para pakar industri pertahanan strategis diluncurkannya 
produk bom terbang hipersonik ini cukup mencemaskan. Karena 
sewaktu-waktu bisa mengancam kedaulatan udara Indonesia dan kawasan Asia
 Tenggara, di tengah semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina
 di kawasan ini. 
 Menurut
 taksiran beberapa ilmuwan teknologi udara, bom terbang hipersonik ini 
punya kecepatan melampaui 5 Mach --atau lima kali kecepatan suara-- 
6.000 kilometer per jam. 
 Apapun alasan yang dikumandangkan pihak Pentagon ketika itu, Proyek AHW Angkatan Darat AS adalah bagian dari program "Prompt Global Strike",
 yang berusaha memberi militer AS sarana untuk mengantar senjata 
konvensional di tempat lain di dunia dalam waktu satu jam. Bayangkan, 
jika AHW ini digunakan dengan tujuan untuk melancarkan agresi militer ke
 sebuah negara atau kawasan. Negara manapun yang dalam posisi sebagai 
musuh Amerika, bisa dipastikan akan cemas dengan kepemilikan senjata 
macam AHW ini. 
 Dan dalam program yang bernama “Prompt Global Strike”
 ini, Washington memang sepertinya tidak main-main. Bayangkan saja. 
Pentagon telah menanam 239,9 juta dolar AS dalam program Global Strike 
tahun ini, termasuk 69 juta dolar AS untuk bom terbang yang diuji coba 
pada 2011 lalu. 
Satelit Mata-Mata Jepang Semakin Pertajam Ketegangan di Asia Pasifik 
 Selain
 semakin agresifnya postur pertahanan AS di Asia Tenggara, manuver udara
 Jepang, sekutu tradisional AS sejak pasca Perang Dunia II, kiranya juga
 perlu kita waspadai. Awal Januari 2013 lalu,  Jepang meluncurkan dua 
satelit mata-mata ke orbit, untuk memperkuat kemampuan pengawasannya, 
termasuk mengawasi Korea Utara dari jarak dekat. 
 Mengingat
 kenyataan adanya persekutuan strategis yang solid antara Amerika dan 
Jepang, maka perkembangan terkini adanya satelit mata-mata Jepang 
tersebut nampaknya paralel dengan manuver pengindra Sumber Daya Alam 
(SDA) Amerika Serikat LANDSAT-1 sampai VII yang baru-baru ini dikabarkan
 telah melintasi wilayah udara Indonesia pada ketinggian 36 ribu km di 
atas bumi. Karena baik satelit jenis LANDSAT-1 sampai VII maupun dua 
satelit mata-mata Jepang tersebut, keduanya masuk kategori pengumpul 
data intelijen. Kedua satelit Jepang pengumpul data intelijen tersebut 
ditempatkan ke orbit dengan menggunakan roket H-2A buatan dalam negeri 
Jepang, yang terdiri dari satelit radar operasional dan satelit optikal 
percobaan. 
 Peluncuran
 dilakukan dari Tanegashima Space Center, Pulau Tanegashima, selatan 
Jepang, sekitar pukul 13.40 waktu setempat (11.40 WIB) oleh Japan Aerospace Exploration Agency
 (JAXA) dan Mitsubishi Heavy Industries Ltd. "Roket itu terbang sesuai 
rencana dan melepaskan kedua satelit itu," kata JAXA dalam sebuah 
pernyataan yang dikutip AFP. 
 Ini jelas sebuah perkembangan informasi yang cukup menarik. Keterlibatan Japan Aerospace Exploration Agency
 (JAXA) dan Mitsubishi Heavy Industries, menggambarkan betapa 
pembangunan dan pengembangan industry strategis pertahanan terkait 
secara langsung dengan pembangunan industri strategis Jepang pada skala 
 dan lingkup yang lebih luas. Artinya, kalau peluncuran dua satelit 
mata-mata Jepang ini dipandangns sebagai bagian dari perkembangan 
kemajuan industri pertahanan Jepang, maka keterlibatan dua badan 
strategis Jepang ini, harus dibaca sebagai bukti nyata bahwa urusan 
pertahanan dan pengembangan peralatan militer Jepang saat ini, bukan 
sekadar urusan pihak militer semata. Melainkan sudah menjadi isu 
strategis yang ditangani oleh berbagai elekmen sipil di Jepang. 
 Bagi
 Indonesia, perkembangan teknologi pertahanan Jepang tersebut harus 
dicermati secara seksama dan penuh kewaspadaan mengingat adanya eksamaan
 misi antara Amerika dan Jepang untuk mengincar kawasan Asia Tenggara 
dan Asia Pasifik pada umumnya. 
 Sebagai
 satelit radar operasional yang ditujukan untuk melengkapi sistem 
pengawasan, pada perkembangannya satelit jenis ini bukan sekadar alat 
yang berfungsi defensif. Melainkan juga bisa digunakan untuk tujuan yang
 lebih agresif. Karena satelit mata-mata ini akan memungkinkan Jepang 
untuk memantau setiap tempat di dunia setidaknya dalam satu kali sehari,
 sekalipun tertutup awan dan malam hari. 
 Sedangkan
 satelit optikal percobaan adalah satelit demonstrasi untuk mengumpulkan
 data bagi riset dan percobaan teknologi masa depan dan berbagai 
perbaikan yang memungkinkan Jepang meningktakan kemampuan surveilans-nya
 (pengawasan). Dari kemampuan ini saja, Jepang bisa memantau dan 
mendeteksi berbagai perkembangan teknologi Indonesia maupun negara 
manapun yang jadi sasaran pengintaian pihak Jepang. Sekaligus ini juga 
membuktikan bahwa program riset dan percobaan teknologi di Jepang 
terkait erat dengan kebijakan strategis pertahanan Jepang di masa depan. 
 Tak
 pelak lagi ini cukup mencemaskan bagi angkatan udara Indonesia dan 
negara-negara yang berpotensi sebagai musuh Jepang di masa depan. 
Satelit radar, yang merupakan satelit pengumpulan intelijen, dilaporkan 
akan segera beroperasi secara penuh pada bulan April nanti. Satelit itu 
diletakkan dengan jarak beberapa ratus kilometer di luar angkasa, 
dikabarkan mampu mengambil foto obyek berukuran satu meter di bumi. 
 Sepertinya seluruh elemen strategis Jepang bersatu-padu untuk urusan ini. 
 Perdana
 Menteri Jepang Shinzo Abe, yang bersikap keras terhadap Korut memuji 
keberhasilan peluncuran satelit itu. "Pemerintah akan menggunakan 
sebanyak-banyaknya sistem itu untuk meningkatkan keamanan nasional dan 
manajemen krisis kami," kata Shinzo Abe yang dikutip stasiun radio NHK. 
 Meskipun
 ini merupakan pernyataan resmi pemerintah, namun frase “meningkatkan 
keamanan nasional dan manajemen krisis” kiranya harus diartikan sebagai 
kalimat bersayap yang bisa juga diartikan bahwa satelit ini siap untuk 
jadi bagian dari peralatan militer Jepang yang bersifat agresif. 
 Yang
 jelas, peluncuran satelit ini saja pemerintah Jepang telah mengeluarkan
 anggaran sebesar 10 miliar dolar AS atau sekitar  96, 5 triliun rupiah.
 Jelas jumlah yang cukup fantastis mengingat anggaran pertahanan 
Indonesia saja saat ini hanya sekitar 72 Triliun per tahun. 
 Yang
 perlu digarisbawahi melalui kajian ini, keberhasilan peluncuran satelit
 mata mata Jepang ini, berarti menambah panjang daftar kesuksesan roket 
jenis H-2A, yang sebelumnya telah berhasil mengantarkan 15 satelit 
Jepang  ke luar angkasa. Sehingga Jepang saat ini telah berhasil 
mengopeasikan satu satelit radar dan tiga satelit optik. 
 Sekadar
 informasi tambahan. Jepang mulai membuat rencana untuk menggunakan 
satelit guna mengumpulkan data intelijen setelah Korea Utara meluncurkan
 rudal jarak jauh pada tahun 1998. Satelit intelijen Jepang diluncurkan 
pertama kalinya pada Maret 2003, sebagai tanggapan atas uji rudal Korut 
pada 1998. 
 Berarti
 situasi di Semenanjung Korea, memang cukup memanas, bisa menjadi pemicu
 ketegangan regional yang menyeret AS, Cina dan bahkan Rusia, dalam 
konflik militer berskala luas di dalam beberapa waktu ke depan. 
 Apalagi
 ketika Korea Utara pada Desember 2012 lalu mengklaim berhasil 
meluncurkan roket jenis Unha-3 untuk membawa satelit cuaca ke orbit.  
Alhasil, keberhasilan ini memicu kecemasan Jepang karena roket ini 
berhasil terbang melintasi gugusan pulau Okinawa. 
 Manuver
 ruang angkasa Korea Utara ini tentu saja dikecam AS dan sekut-sekutunya
 sebagai manuver tersamar Korea Utara untuk program teknologi rudal 
dengan dalih meluncurkan roket untuk membawa satelit cuaca ke orbit. 
 Tren
 ini harus dibaca dengan seksama oleh para pemegang otoritas keamanan 
nasional Indonesia mengingat kenyataan bahwa Jepang saat ini menjadi 
tempat bagi 5000 tentara Amerika untuk menghadang ancaman dari Korea 
Utara. 
 Mengingat
 kenyataan Jepang berada dalam jangkauan rudal Korea Utara, maka 
kerjasmaa AS-Jepang untuk mengembangkan satelit mata-mata, maka Jepang 
saat ini sudah bisa diasumsikan memiliki sistem pertahanan rudal 
sendiri. Sehingga dari sudut pandang persekutuan strategis AS-Jepang, 
satelit mata mata ini bukan sekadar bersifat defensive, melainkan 
ofensif di masa depan.   
Sumber : http://www.theglobal-review.com  
 | 
HomeIndonesia Harus Mewaspadai Manuver Udara dan Ruang Angkasa Amerika Serikat dan Jepang

Post a Comment