Add caption |
Energi angin sebagai energi terbarukan diyakini bisa
menggantikan bahan bakar fosil. Dengan energi angin, diprediksi dapat
meningkatkan kualitas udara, mengurangi emisi gas-gas rumah kaca yang
menimbulkan pemanasan global, dan dampak lingkungan lainnya.
Meski
secara umum potensi angin di Indonesia relatif rendah, di beberapa
wilayah terdapat lokasi yang cukup potensial untuk dimanfaatkan. Ini
merupakan hasil evaluasi data potensi angin di lebih dari 120 lokasi
pengukuran. Terdapat beberapa lokasi potensial yang dapat dimanfaatkan
melalui penerapan teknologi Sistem Konversi Energi Angin (SKEA) untuk
berbagai keperluan pembangkit listrik dan pemompaan air.
Lokasi-lokasi
potensial yang telah teridentifikasi sebagian besar berada di wilayah
Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Maluku Tenggara dan Barat, serta pantai selatan Jawa. Di lokasi
tersebut, kecepatan angin rata-rata tahunan lebih dari 4,5 meter per
detik.
Energi angin bisa dijadikan sebagai energi
alternatif pengganti energi bahan bakar fosil. Selain masalah
ketersediaan yang semakin menipis, penggunaan energi bahan bakar fosil,
seperti minyak bumi, memberi dampak lingkungan yang tidak baik.
Pembakaran energi fosil akan membebaskan gas karbondioksida (CO2) yang
merugikan ke atmosfer. Pembebasan gas ini mengubah komposisi kimia
lapisan udara dan mengakibatkan sebagian sinar matahari terperangkap dan
terbentuknya efek rumah kaca yang memberikan kontribusi signifikan pada
kenaikan suhu global.
''Pemanfaatan energi angin
sebagai energi terbarukan menggantikan bahan bakar fosil dapat
meningkatkan kualitas udara, mengurangi emisi gas-gas rumah kaca, dan
dampak lingkungan lainnya, seperti hujan asam dan lain-lain,'' ujar
peneliti dari Pusat Teknologi Dirgantara Terapan Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN), Soeripno MS, dalam Kongres Ilmu Pengetahuan
Nasional IX, pekan lalu.
Soeripno memisalkan,
sebuah unit turbin angin 10 kW biasanya dapat menghasilkan energi
listrik kurang lebih 27 ribu kWh per tahun. Berdasarkan rata-rata energi
di Amerika Serikat, untuk setiap kWh terbangkitkan akan menimbulkan
emisi 670 gram C02, 3,74 gram SO2, dan 1,78 gram Nox. ''Hal ini berarti
bahwa sebuah unit turbin angin 10 kW dapat mencegah emisi 27 ribu kWh x
0,7 kg Co2/kWh atau sama dengan 18.700 Kgs C02 atau 18 ton Co2 per
tahun,'' jelasnya.
Lebih jauh Soeripno menyatakan,
penguasaan teknologi dan kemampuan lokal dalam rancang bangun SKEA
telah menghasilkan berbagai prototipe SKEA skala kecil sampai dengan 10
kW dengan komponen lokal lebih dari 90 persen. Ini telah diuji coba di
beberapa lokasi terpilih untuk pembangkit listrik maupun pemompaan air.
''Di antara lokasi pemanfaatan SKEA adalah desa Bancamara Giliyang
Sumenep, Selayar Lombok Timur, dan Sambas Bantul,'' cetus Soeripno.
Menurut
Soeripno, pengembangan teknologi SKEA, sampai tahun 2006 telah
dihasilkan beberapa prototipe. Pertama, SEKEA listrik (turbin angin)
daya output 80 W, 250 W, 100 W, 2500 W, 3500 W, 5 kW, dan 10 kW. Kedua,
SKEA mekanik (kincir angin) sudut majamuk empat daun sampai 18 daun dari
berbagai kapasitas dan tinggi pemompaan.
Lebih
jauh Soeripno menyatakan, ujicoba SKEA dilakukan dengan pemanfaatan
langsung di beberapa daerah oleh LAPAN dan instansi terkait baik secara
sendiri-sendiri maupun bekerja sama dengan pemerintah daerah. Dengan
berbagai kapasitas dari 1kW hingga 10 kW dengan total daya mencapai 0,6
MW. ''Skala yang lebih besar telah dan sedang dipasang dengan kapasitas
perkembangan yang lambat, ini diakibatkan pemanfaatan SKEA dilakukan
masih dalam skala kecil,'' jelasnya.
Soeripno
menambahkan, ada tiga pendekatan yang sejauh ini dilakukan dalam desain
rancang bangun teknologi SKEA. Antara lain, mencontoh sebagian komponen
SKEA yang sudah diproduksi di luar negeri dengan menyesuaikan kemampuan
dan fasilitas serta sumber daya nasional. Lalu, memodifikasi komponen
SKEA dengan mengubah beberapa parameter utama disesuaikan dengan kondisi
potensi angin Indonesia. ''Atau, merancang secara keseluruhan
berdasarkan data angin setempat,'' tegasnya.
Dari
pemanfaatan yang telah dilakukan dengan tersedianya listrik, kata
Soeripno, membawa dampak positif terhadap masyarakat di wilayah
tersebut. Dalam beberapa kasus, lanjut dia, adanya kesempatan untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui peningkatan sarana
pendidikan, tumbuhnya industri kecil, sarana informasi dan komunikasi.
Dengan
tersedianya listrik, kata Soeripto, memberi kesempatan untuk belajar di
malam hari dibanding menggunakan lampu minyak. Industri rumah tangga
juga dapat tumbuh dengan adanya listrik dan penyediaan air bersih dengan
memanfaatkan pompa air dari SKEA. ''Dengan memanfaatkan SKEA penggunaan
bahan bakar diesel dan minyak tanah dapat dikurangi, yang berarti
penghematan penggunaan bahan bakar dan sekaligus mengurangi polusi
udara,'' jaminnya.
Keuntungan lain atas penggunaan
SKEA, kata Soeripto, adalah reduksi polusi CO2 sebesar emisi faktor
0,95 kg CO2/kWh dari kerosene dan bila dikaitkan dengan skema Kyoto
Protocol--Clean Development Mechanism (CDM). Proyek ini juga akan
mendapatkan sertifikat kredit CO2. Hal yang mungkin mengganggu
lingkungan, lanjut dia, adalah kebisingan dan kehidupan burung di lokasi
akan terganggu. ''Namun, untuk skala yang kecil menengah hal ini tidak
menjadi masalah besar,'' tegasnya.
Post a Comment