Sebagian orang menganggap Budi Dharmawan sebagai sosok nyeleneh. Pada
 usia hampir 73 tahun ia justru sibuk masuk-keluar desa. Ia mengumpulkan
 donasi dari kolega dan membangun embung atau waduk kecil buatan di desa
 terpencil. Baginya, tindakan nyeleneh itu hanya pemantik awal menggugah
 kembali rasa senasib sepenanggungan yang memudar.
Budi Dharmawan tak sekadar berwacana. Bersama rekan-rekannya yang 
tergabung dalam Yayasan Obor Tani, dia sudah menunjukkannya dengan 
membangun embung buatan di Desa Genting, Kecamatan Jambu, Kabupaten 
Semarang, Jawa Tengah.
Beberapa tokoh yang berkunjung, seperti mantan Gubernur Jakarta 
Sutiyoso, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo, dan Wakil Gubernur Jawa 
Tengah Rustriningsih, menyuarakan kekagumannya.
Embung di puncak bukit itu memiliki volume 8.000 meter kubik. Adapun 
di lahan sekitar 20 hektar yang mengelilingi embung tersebut tertanam 
sekitar 4.000 batang pohon kelengkeng itoh. Ada sekitar 120 keluarga 
pemilik yang mengurus lahan itu. Saat musim kemarau seperti saat ini 
tanaman itu dengan mudah mendapat air hasil ”menabung” selama musim 
hujan.
Padahal, sebelum dibangun embung pada Juli 2008, bukit tersebut 
tandus. Warga hanya memanfaatkan lahan untuk menanam singkong atau 
pisang. Hasilnya tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar 
pemuda desa kemudian menjadi buruh penebang pohon atau merantau sebagai 
kuli bangunan dan buruh pabrik.
Kini sebagian dari mereka kembali ke desa untuk mengolah lahan. 
Setiap pekerjaan yang mereka lakukan mendapat upah, yang jumlahnya 
bervariasi, dari Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per hari.
Selama tiga tahun warga mendapat pendampingan dari Yayasan Obor Tani.
 Mereka baru ”dilepas” setelah memiliki jaringan pasar dan para petani 
bisa mendapat penghasilan bersih lebih dari Rp 1 juta per bulan.
Untuk mewujudkan hal itu, adik ekonom Kwik Kian Gie yang juga sering 
dipanggil Kwik Kian Djin ini mengumpulkan dana sekitar Rp 1 miliar dari 
sejumlah pengusaha kenalannya. Dana itu digunakan untuk membuat waduk 
dan program pengembangan sentra kelengkeng di Genting. Sampai kelengkeng
 bisa berbuah pada tahun ketiga diperlukan dana Rp 1,5 miliar.
”Kalau nombok, itu memang harus ada supaya kegiatan bisa berjalan,” 
tutur Budi dalam perbincangan di Hortimart, perkebunan buah miliknya di 
Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, pekan lalu.
Budi mengaku sengaja memilih buah sebagai komoditas yang didorong 
karena merasa produk ini paling memungkinkan para petani memiliki 
penghasilan mencukupi. Apabila memilih pertanian pangan, petani hanya 
bisa sekadar hidup karena berhadapan dengan pemerintah yang berupaya 
menekan harga pangan.
Sementara itu, bila memilih komoditas pertanian industri, menurut 
dia, petani akan tetap hidup seadanya, sedangkan perusahaan terus 
bertambah kaya.
Pertanian tegalan
Awalnya Budi menggagas pembentukan Yayasan Obor Tani pada tahun 2006.
 Menelurkan program pemberdayaan ini tak lepas dari keprihatinannya 
menyaksikan kondisi petani tegalan di pedesaan.
Selama ini pemerintah memberi porsi besar untuk pertanian sawah. 
Begitu banyak waduk raksasa dibuat. Namun, sebaliknya dengan pertanian 
tegalan. Para petani tegalan tidak terlatih untuk menghasilkan produk, 
baik secara kuantitas maupun kualitas.
”Hal lain yang membuat miris adalah banyak sekali buah-buahan impor 
di Indonesia. Bahkan buah impor itu sudah merambah hingga kota-kota 
kecamatan. Apakah kita tidak bisa menghasilkan buah berkualitas? Bisa! 
Iklim mendukung, curah hujan mencukupi, tanah kita juga subur,” 
tuturnya.
Dia memimpikan, dengan pola pengembangan satu sentra buah di satu 
desa, buah-buah lokal yang berkualitas bisa kembali berjaya. Tentu hal 
ini juga memberi pekerjaan bagi penduduk desa dan meningkatkan daya beli
 mereka.
Oleh karena itu, Budi berupaya menggapai impiannya itu dengan mengajak perusahaan yang berhasil untuk membantu orang-orang desa.
”Bangsa Indonesia itu dibangun atas dasar rasa kekeluargaan dan 
senasib sepenanggungan. Bukan atas dasar suku, agama, atau golongan. Ada
 banyak pengusaha kaya, tetapi banyak juga masyarakat desa yang miskin. 
Tak ada salahnya mereka yang kaya membantu yang miskin. Kalau daya beli 
masyarakat desa naik, tentu perusahaan dapat manfaat juga,” tutur Budi.
Pola pikir Budi tersebut kerap dipertanyakan kakaknya, Kwik Kian Gie.
 Meski memiliki tujuan akhir yang sama, mereka memilih jalan berbeda. 
Kwik Kian Gie mencoba memperbaiki kondisi bangsa dengan masuk ke pusat 
kekuasaan, tetapi, kata Budi, kakaknya seperti memegang sakelar dan 
ingin menghidupkan rangkaian lampu yang ternyata rusak. Sulit dilakukan.
Dia sendiri mengibaratkan tindakannya itu seperti memperbaiki dan 
menghidupkan satu rangkaian lampu. Dengan harapan, setelah lampu ini 
menyala akan banyak yang turut melakukan hal serupa.
Budi mengaku tidak punya keinginan terselubung. Dia merasa sudah 
menjadi pengusaha sukses. Selama menjalankan program ini dia juga 
mengaku tidak pernah merasa kecewa. Apa sebabnya?
”Ini karena saya menganggap semua itu dilakukan untuk diri saya 
sendiri, bukan orang lain. Ini untuk memenuhi impian saya sehingga saya 
tidak akan menyesal,” tutur laki-laki yang sempat mengabdi sebagai 
perwira Angkatan Laut itu.
Hal itu pula yang membuat dia tidak ambil pusing dengan berbagai 
kendala yang dihadapi. Termasuk saat program di Desa Genting tersebut 
nyaris terhambat karena ada pejabat di Kabupaten Semarang yang berjanji 
memberi bantuan pipa paralon untuk jaringan penyiraman tanaman. 
Berbulan-bulan janji tinggal janji. Budi yang mengetahui bahwa stafnya 
menunggu perwujudan janji tersebut langsung meminta pipa paralon segera 
dibeli, tanpa menunggu janji yang belum jelas itu.
Dia berharap, apa yang dilakukannya, meski kecil, bisa disambut 
banyak pihak. Hingga akhirnya percikan impian itu bisa betul-betul 
terwujud dan masyarakat desa mandiri. Bukankah kemakmuran desa juga 
berarti kemakmuran bagi kota dan akhirnya kemakmuran bagi bangsa?
HomeEkonomi Petani “Ndeso” Budi Dharmawan

Post a Comment