Jakarta, Kompas -
Tren atau kecenderungan dunia dalam memilih dan memanfaatkan sumber
energi untuk pembangkit tenaga listrik adalah pada tenaga surya yang
bersifat terbarukan, bukan tenaga nuklir. Karena itu, Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi akan terus mengkaji potensi pengembangan
pembangkit listrik tenaga surya di Tanah Air.
"Pembangkit
listrik tenaga surya mengedepankan prinsip memperoleh energi surya
secara gratis dan ramah lingkungan, tetapi nilai produksi modul surya
yang tersusun dari silikon kristal sekarang masih terlampau mahal," kata
Deputi Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Marzan Aziz Iskandar, Kamis
(28/12).
Modul
surya atau solar cell merupakan komponen utama pembangkit listrik
tenaga surya (PLTS) untuk mengubah energi surya menjadi energi listrik.
Marzan mengaku optimistis, lambat laun seperti produk teknologi lainnya,
dengan terus dikembangkannya teknologi sel surya, modul pembangkit
energi surya akan bernilai semakin murah dan terjangkau.
Di
negeri Barat, alternatif energi surya menjadi pilihan karena tergolong
energi bersih. Produsen modul surya saat ini juga masih terbatas dari
negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Negara
India dan China juga telah memproduksi modul surya dengan harga yang
relatif murah, tetapi hasil produksinya telah lebih dahulu dipesan untuk
memenuhi kebutuhan Eropa.
Tingginya
daya serap industri di Eropa terhadap modul sel surya juga berimbas
pada produksi PLTS di Indonesia saat ini. Produksi pembangkit masih
terkendala terbatasnya produksi modul surya atau fotovoltaik.
Menurut
Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi pada Deputi
Bidang TIEM BPPT Arya Rezavidi, tren PLTS didukung pernyataan dari
British Hydropower Association. Lembaga ini menyatakan pada tahun 2100
PLTS berpotensi memenuhi 50 persen kebutuhan listrik dunia, disusul
sekitar 20 persen suplai listrik dari pembangkit listrik tenaga air.
Selebihnya,
penggunaan bahan bakar minyak untuk pembangkit listrik bisa mencapai 10
persen, disusul penggunaan biomassa dan sumber energi lain seperti
angin. Penggunaan energi nuklir diperkirakan pada tahun 2100 itu
cenderung tidak lagi digunakan.
"Pengkajian
teknologi pembangkit listrik tenaga surya ini perlu terus dilakukan
secara terdesentralisasi. Desentralisasi ini akan mengurangi beban
transmisi," kata Arya.
Nilai
produksi listrik dari PLTS sekarang, lanjut Arya, memang jauh lebih
mahal jika dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan PT PLN sekarang.
Penghitungan listrik dari PLTS mencapai 15 sen dollar AS per kWh,
sedangkan dari PLN masih 5 sen dollar AS per kWh. "Pada masa-masa
mendatang diperkirakan kecenderungan yang terjadi akan berbalik," kata
Arya.
Saat
ini pembuatan PLTS dalam skala kecil terus digalakkan di beberapa
wilayah Indonesia. Itu termasuk pembuatan PLTS di Kepulauan Seribu,
yaitu di Pulau Sebirah, akhir-akhir ini, yang masih dalam proses
konstruksi untuk menghasilkan listrik dari modul surya sebesar 8
kilowatt. (NAW)
HomeTeknologi Listrik Tren Dunia Menuju Pembangkit Tenaga Surya
Post a Comment