Publik sempat dibuat deg-degan dengan ramalan suku Indian Maya akan
datangnya kiamat di tahun 2012. Seakan-akan ingin turut meramaikan atau
meminjam momen, beberapa tahun sebelum 2012, toko buku dibanjiri dengan
pelbagai tulisan yang mengupas kemungkinan kiamat tersebut, lengkap
dengan asumsi, teori, bumbu dan spekulasi. 2012 bahkan dijadikan judul
film sci-fi yang menampilkan skenario (sang sutradara dan penulis
naskah) bagaimana detail kiamat nantinya. Salah satu produsen deodoran
khusus pria bahkan berani mengiklankan produk terbarunya dengan
embel-embel „last edition“, seakan-akan sebelum detik-detik kiamat
datang, semua orang ingin tubuhnya wangi.
Kiamat yang diperhitungkan oleh Indian Maya jatuh pada tanggal 21
Desember 2012 tersebut ternyata „bernasib“ sama dengan hitung-hitungan
kiamat versi orang lain; tidak terjadi. Planet bumi tetap utuh, meski di
dalamnya, konflik selalu menghiasi setiap jengkal tanah di atasnya;
kiamat kecil menurut agama.
Namun kiamat memang nyaris terjadi. Bahkan tanda-tandanya sudah
berlangsung sejak akhir 2011. Dan memasuki 2012, bencana benar-benar
muncul. Kiamat 2012 yang saya maksud itu ialah bencana kebangkrutan
kolektif industri/perusahaan sel surya di negara-negara berpengaruh.
Mulai dari Jerman sebagai produsen dan pasar sel surya dunia, merembet
hingga AS, Spanyol, Swiss bahkan hingga China sekalipun. Apa pasal?
Ternyata salah satunya soal „perang harga“ sel surya.
AS dan Eropa saat ini tengah dibanjiri produk sel surya made in China
yang harganya miring, sebagaimana ciri khas produk China lainnya. Entah
bagaimana caranya, China dapat menekan harga jual sel surya secara
signifikan di bawah harga produksi sel surya perusahaan-perusahaan AS
dan Eropa. Jelas hal ini memaksa perusahaan AS dan Eropa untuk menjual
produk mereka pada kisaran harga yang sama, yang berarti pada harga di
bawah harga produksi. Jelas efeknya fatal. Beberapa produsen sel surya
Eropa ramai-ramai mendaftarkan perlindungan kebangkrutan. Yang beruntung
mendapat investor baru. Beberapa di antaranya ialah Q-Cell, produsen
terkemuka asal Jerman yang memproduksi sel surya CdTe, yang tergadaikan
ke Hanwa Solar asal Korea Selatan, dan Solibro yang beralih tangah ke
China. Lainnya? Kolaps. Solar Valley di Jerman yang pada rentang waktu
2007-2011 merupakan denyut utama industri sel surya dunia, saat ini
tidak lagi gemerlap, seakan-akan ingin turut „berpartisipasi” dalam
krisis ekonomi Eropa di tahun 2011-2012.
Baik AS maupun Eropa sama sama menuduh China melakukan praktek
dumping, yakni menjual produk di bawah harga sebenarnya. Dan investigasi
dugaan dumping ini tengah berjalan ketika saya menulis artikel ini.
Bisnis sel surya untungnya masih cukup seksi. Meski menghadapi „kiamat“
2012, industri sel surya tetap berharap dapat kembali pulih tahun 2013
ini, dan kembali melaju dengan bantuan beberapa program intensif yang
dikucurkan pemerintah-pemerintah Eropa.
Mengapa masih berharap pada sel surya?
Karena tidak banyak pilihan lain. Sel surya (dan energi angin) ialah
tulang punggung energi terbaharukan Eropa di masa datang. Terlebih pasca
bencana yang menimpa PLTN Fukushima, yang membuat publik kembali ngeri
dengan skenario terburuk yang terjadi pada sebuah PLTN. Kampanye publik
Jerman di seantero negeri untuk berkata „Nein für Atomkraft“ sedikit
banyak berhasil memaksa Kanselir Angela Merkel –pemegang gelar doktor
fisika nuklir- memutuskan untuk menutup seluruh PLTN di Jerman secara
bertahap hingga 2023. Apa lagi sumber energi pasca 2023 selain sel surya
dan energi angin yang secara efektif bisa dimanfaatkan? Bagaimana
mencari pengganti untuk pasokan listrik sekian TerraWatt dalam waktu 10
tahun dari sekarang selain mengoptimalkan dua teknologi di mana Eropa
cukup matang di dalamnya; sel surya dan energi angin? Kelak Eropa akan
terbagi dua; daerah utara akan padat dengan baling-baling angin dan
daerah tengah dan selatan akan didekorasi dengan sel surya. Bila masih
tidak cukup, laut Utara bisa disulap menjadi ladang pembangkit tenaga
angin, sedangkan gurun pasir di negara-negara sub-Sahara di Afrika utara
akan disewa sebagai ladang pembangkit tenaga surya, menghasilkan Super
Network yang memasok energi untuk Eropa. It is serious, no joke.
Mau tidak mau, penelitian di bidang energi terbaharukan harus tetap
berjalan meski adanya fase kiamat di 2012, bahkan kecenderungan saat ini
justru saya rasakan meningkat. Selain dimotivasi oleh persoalan pasokan
energi, Eropa juga bertekad pada tahun 2020 dapat mengurangi kadar
emisi CO2 sebesar 20% dari kadar CO2 tahun 1990 melalui Vision 2020-nya.
Lagi-lagi, energi terbaharukan semisal sel surya dan energi angin
dinilai cukup dapat diandalkan untuk mengurangi emisi karbon. Dan visi
2020 ini sudah dijabarkan dalam bentuk riset-riset yang mengkaji
teknologi mana saja yang dapat mensuport visi tersebut.
Sekarang coba kita bayangkan di tahun 2023, saat di mana jumlah PLTN
berkurang signifikan dan pasokan listrik dari energi terbaharukan harus
tetap dapat menyokong aktifitas. Sumber energi terbaharukan nantinya
harus dapat memenuhi permintaan listrik dalam skala Terra Watt (1 Terra
Watt = 1 juta Mega Watt atau 1 Trilyun Watt). Jerman sendiri memiliki
proyek ambisius untuk membangun fasilitas pasokan listrik dari sel surya
sebesar 200 Giga Watt (200 Milyar Watt) hingga tahun 2050. Jika PLTU
Muara Karang di Jakarta berkapasitas 500 Mega Watt, maka untuk mencapai
200 Giga Watt di tahun 2050, maka kira-kira perlu dibangun 20 PLTU Muara
Karang per tahunnya hingga tahun 2050!
Oke-lah jika finansial bukan merupakan problem. Namun
bagaimana dengan teknologi pembangkit energi-nya sendiri? Bisakah
produksi sel surya digenjot sedemikian rupa hingga memenuhi ekspekasi
tersebut? Pertanyaan yang lebih ngilmiah ialah; apa yang
membatasi produksi sel surya di saat pasokan listrik dalam skala Terra
Watt sangat dibutuhkan? Pertanyaan ini saya kira juga berlaku universal
untuk teknologi tenaga angin, plus teknologi baterei yang dibutuhkan
untuk menyimpan listrik saat pasokan listriknya berlebih.
Dari sudut pandang saya yang berlatar belakang ilmu material, yang
berpotensi membatasi produksi sel surya dan teknologi energi lainnya
tidak lain ialah jumlah pasokan material itu sendiri. Dan hal ini
terrefleksi dari berapa banyak jumlah cadangan material tersebut di
kulit bumi serta berapa jumlah produksi material ini per tahunnya.
Berapa jumlah sel surya yang diproduksi akan sangat bergantung pada
ketersediaan dan keberlangsungan pasokan bahan bakunya di pasaran
sekaligus pada cadangannya di alam.
Ambil kasus sel surya. Saat ini 90% sel surya dibuat dari bahan
silikon. Dan untungnya, silikon ialah elemen yang terbanyak kedua di
kulit bumi setelah oksigen. Sehingga jika produksi silikon untuk
aplikasi sel surya ini digenjot, sel surya silikon secara teori mampu
memenuhi ekspektasi jumlah pasokan listrik yang dibutuhkan di masa yang
akan datang. Problem utama dari sel surya silikon ada pada sifat
fisika-nya yang kurang optimal dalam menyerap cahaya matahari, sehingga
silikon di dalam sel surya haruslah sedikit lebih tebal untuk dapat
menyerap cahaya matahari dengan baik. Hal ini berujung pada problem
selanjutnya pada banyaknya silikon yang dibutuhkan di dalam sel surya.
Untuk setiap 1000 Watt sel surya silikon yang diproduksi, dibutuhkan
setidaknya 7 kg silikon. Kembali ke atas, jika sel surya diproyeksikan
untuk menghasilkan pasokan listrik dalam skala besar Giga ataupun Terra
Watt, maka dibutuhkan setidaknya satu juta ton produksi silikon per
tahun khusus untuk sel surya. Sebagai catatan, silikon diproduksi tidak
hanya untuk sel surya semata, namun mayoritas diproduksi untuk industri
elektronik. Dan silikon ini tidak murah untuk dibuat karena ia
melibatkan energi yang besar ketika memproduksinya (lihat lebih detail
pengolahan silikon di sini).
Problem ini dapat diatasi dengan beralih ke jenis material lain untuk
dimanfaatkan sebagai sel surya, yakni dengan teknologi yang
memanfaatkan lapisan tipis material non-silikon. Sel surya ini
memanfaatkan material cadmium tellurida (CdTe) dan senyawa
tembaga-indium- galium-selenida (CuInGaSe2 / CIGS). Material ini
memiliki sifat fisika optik yang jauh lebih baik dari silikon sehingga
dapat dibuat dalam bentuk lapisan tipis dengan kemampuan menyerap cahaya
matahari yang sama baiknya dengan silikon. Dengan menggunakan material
ini, ketebalan sel surya mampu direduksi dan secara otomatis mengurangi
berat semikonduktor di dalam sel surya menjadi hanya sekitar 0.2 kg per
1000 Watt sel surya. Sebuah reduksi yang mengundang decak kagum jika
dibandingkan dengan 7 kg silikon pada setiap 1000 Watt sel surya.
Namun sel surya dari material ini menghadapi tantangan serius dalam
soal pasokan material plus cadangannya di kulit bumi. Baik Cd, Te, In,
Ga dan Se merupakan elemen yang cadangannya sangat sedikit di alam. Dan
jumlah produksi per tahunnya setali tiga uang. Sulit mengandalkan sel
surya dari material ini untuk memenuhi permintaan listrik skala Giga
maupun Terra Watt. Sebagai ilustrasi, produksi Te hanya kira-kira 600
Ton per tahun (2012), sedangkan jika sel surya jenis CdTe ditargetkan
untuk memenuhi 10 % saja dari pasokan energi masa depan, maka produksi
Te yang diperlukan ialah sekitar 19.000 Ton per tahun. Atau misalnya
produksi Indium yang hanya 100 Ton per tahun dan Galium yang hanya 80
Ton per tahun sangat tidak memungkinkan untuk mensuplai industri sel
surya untuk menghasilkan sel skala besar yang membutuhkan
keberlangsungan pasokan material sebesar belasan ribu ton per tahunnya..
Ini pun berlaku pada jenis teknologi pembangkit energi lain.
Misalnya, pada turbin angin di kincir angin yang memanfaatkan magnet
permanen. Magnet permanen memanfaatkan logam-logam tanah jaran semisal
Lanthanum, atau Yitrium.. Namanya saja sudah tanah jarang, secara
otomatis, jumlahnya pun sangat sangat sangat terbatas di alam, dan hanya
di daerah tertentu saja ditemui jenis material ini. Jika skenario
listrik dari tenaga angin harus menghasilkan listrik dalam skala Giga
Watt, mampukah teknologi magnet permanen sekarang ini memenuhi
permintaan energi masa depan?
Sejak satu dekade terakhir, para saintis mulai menyadari keterkaitan
antara ketersediaan jumlah cadangan material di alam dengan skenario
energi masa depan. Teknologi sel surya saat ini memang sudah cukup bagus
untuk memenuhi ekspektasi; efisiensinya cukup bagus dan harganya makin
terjangkau. Namun dikaitkan dengan keberlangsungan pasokan energi dalam
jumlah masif di masa depan, para saintis dipaksa untuk berpikir lebih
keras lagi dan meneliti lebih giat lagi untuk menghasilkan sel surya dan
teknologi energi lainnya yang bersandar pada material yang belilmpah di
alam. Saintis sekarang beralih ke material yang tersedia dalam jumlah
besar baik dalam artian cadangannya di kulit bumi, maupun produksi per
tahunnya.
Material-material yang tersusun dari logam-logam tradisional seperti
Cu, Fe, Zn, Sn, S, O, P (fosfor), Si, Ba (barium), Mo (molybdenum) dan
sejenisnya tengah mendapatkan perhatian serius untuk dimanfaatkan
sebagai bahan sel surya. Material ini tersedia berlimpah di alam, proses
penambangannya hingga pengolahan bijih-nya cukup lama dikenal, harganya
terjangkau, dan yang lebih penting, pasokan untuk keperluan industri
cukup aman dalam jangka waktu yang relatif panjang. Produksi tembaga
(Cu) per tahunnya sekitar 10-20 juta ton, hampir sama dengan seng (Zn).
Sulfur (S) lebih bear lagi, yakni sekitar 80 juta ton per tahunnya.
Dan semakin banyak julah produksi, maka harga material-material tadi
semakin murah. Satu kilo tembaga berharga Rp. 100 ribu, sedagnkan 1 kilo
sulfur bisa didapat dengan harga kurang dari Rp. 30 ribu.
CuS, CuO, FeS2, MoS2 dan yang lainnya saat ini dibidik untuk diteliti
potensinya sebagai bahan sel surya. Cu (tembaga) banyak terdapat di
alam, bahkan Indonesia salah satu penghasil utamanya. Fe (besi) bukan
barang yang sukar ditemui di setiap tempat. S (sulfur) mudah ditemui di
daerah pegunungan aktif-vulkanis. Zn dan Sn harganya sangat murah karena
jumlah produksinya sangat besar per tahunnya dan Indonesia merupakan
salah satu produsen utama timah dari Pulau Bangka-Belitung.
Ke depannya, jika sel surya bisa dibuat dari bahan-bahan tersebut,
material-material ini akan sangat dicari di pasaran karena menjadi
primadona untuk industri energi. Penambangan, pengolahan dan pemurnian
material-material ini akan semakin bergairah dikarenakan adanya
permintaan baru untuk ceruk pasar baru. Tidak hanya industri sel surya
saja yang akan menyerap tenaga kerja, namun juga sektor pertambangan
akan dapat berekspansi dan mengembangkan usahanya. Bisa saja akan
terjadi kelangkaan pasokan karena permintaan untuk dijadikan bahan utama
sel surya akan meningkat, yang mengakibatkan harganya naik misalnya.
Namun dengan jumlah cadangannya di kulit bumi yang cukup berlimpah,
skenario pasokan energi di masa yang akan datang agaknya sedikit banyak
mulai membangkitkan rasa optimis di kalangan komunitas sel surya. Kata
kuncinya ialah riset untuk memanfaatkan material yang banyak terdapat di
alam sebagai bahan baku sel surya atau teknologi energi masa depan
lainnya. Jika hasilnya menggembirakan, bisa jadi kiamat kecil 2012 akan
dilupakan.
Sumber : http://energisurya.wordpress.com
HomeSel surya : Tidak sekedar soal efisiensi belaka
Post a Comment